PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Tuesday, May 20, 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional : Kontradiktif Yang Akut

PeePoop – Salahkah jika bangsa ini memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional yang jatuh pada 20 Mei 2008 ini?, jawabnya tidak ada yang salah untuk menjaga momentum semangat kebangsaan yang dicetuskan 100 tahun lalu dengan berdirinya Boedi Oetomo. Tetapi, pertanyaannya cerdaskah jika seremoni tersebut malah mematikan pikiran dan dorongan untuk mengubah dan berubah?, tidak cerdas bila momentum 100 tahun tersebut dirayakan hanya sebagai formalitas kebangsaan belaka.

Kata Kebangkitan mempunyai esensi yang luar biasa. Sementara makna 100 tahun itu sendiri memilki makna gigantis, yang bisa menunjukan sebuah perjalanan yang mendekati keabadian dan seharusnya mempunyai kenangan romantis mengenai sesuatu. Sebagai bangsa yang ada dan sudah hidup. Perubahan besar seharunya memaknai Kebangkitan Nasional itu sendiri.

Tetapi faktanya, sudahkan Indonesia berefleksi atas nama 100 tahun tersebut?. Masalah besarnya, kenapa kita dipaksa menerima momen untuk identitas bernama Indonesia?, yang berkonsep sentries, penuh keraguan, penuh misteri, dan sayangnya penuh kekacauan.

Kontradiksinya, perayaan 100 tahun ditandai dengan naiknya harga BBM, yang menunjukan sikap kebohongan politik dari penguasa. Perayaan 100 tahun juga diiringi dengan kacaunya menyelenggarakan sebuah Negara. 100 tahun tersebut juga dirayakan dengan penuh hegemoni dan kemegahan dalam kontradiksi kebahagiaan (bagi para elit) dan kesengsaraan (bagi sebagia besar rakyat) yang disematkan identitas sebagai bangsa Indonesia yang bersatu.

Tidakkah pemerintah berpikir tentang pendesakkan nilai secara kritis?, bahwa dalam 100 tahun itu, penyelenggara Negara terlalu sibuk dengan urusan membuat kebijakan untuk menggalang kerja sama yang romantis dengan investor asing. Haruskah para elit, melakukan selebrasi 100 tahun tersebut yang sebenarnya hanya sebagai alat ideologis kekuasaan, yang memaksa rakyat harus menerima saja, dengan ketidaktahuan dan pembodohan.

Laut Indonesia dicuri dengan leluasa oleh kapal-kapal asing, yang tragisnya kebanyakan disebabkan oleh konspirasi kotor Angkatan Laut antara elit dan oknum. Bagaimana dengan hutan?, kayu-kayu Kalimantan, Riau, Sumatera, dan Papua, juga dibajak oleh pencuri-pencuri ulung, yang lagi-lagi dilakukan dengan leluasa dengan alat konspirasi. Bagaimana dengan pendidikan?, jangan ditanya, Gedung-gedung Departemen pemerintahan pastinya selalu lebih baik dari sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Lalu bagaimana dengan kekayaan lain yang dimiliki oleh Indonesia?, jika saja pengelolaannya benar dan terkendali dan bersih, Indonesia tidak perlu menaikkan harga BBM akhir Mei nanti.

Para elit, penguasa, dan orang-orang penting negeri ini selalu beralasan, Indonesia tidak memiliki SDM yang memadai, pertanyaannya, lalu jika saja semua sumber kekayaan alam Indonesia dikelola dengan baik, artinya kita memiliki sumber yang akan membuat kita kaya, kenapa tidak kita sewa saja para ahli asing untuk bekerja untuk Indonesia, jangan Indonesia harus bekerja untuk asing.

Perayaan besar-besaran atas kebangkitan ini, sungguh sangat mencerminkan sikap tidak tahu diri. Fakta sejarah yang kabur dan kontradiktif, dan rakyat dipaksa merakan momen yang keliru ini atas nama kekuasaan yang masih saja tidak memiliki keberanian untuk mengungkap kebenaran dan kekuasaan yang masih saja tunduk pada kekuatan asing. Bangsa ini harus lebih berani memilih momen yang tepat untuk sesuatu tonggak megah bernama kebangkitan nasionalnya. (thePuki)

0 comments: