PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Thursday, May 21, 2009

Cecil's Note
Epistemologi 'Kiri' Sebagai Gagasan Besar Yang Menantang Sekaligus Melawan

PeePoop - Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari istilah 'kiri' dan memang seharusnya istilah tersebut menjadi sangat amat biasa dalam setiap perbincangan. Tapi bukan hanya sebatas isitilah saja, terminologi tersebut menjadi tidak biasa atau luar biasa disaat istilah tersebut diendapkan pada dimensi pemikiran. Istilah 'kiri' menyimpan sejumlah gagasan besar yang menantang, melawan, merusak setiap tradisi yang dianggap 'mapan', dan istilah 'kiri' juga memainkan peran signifikan atas munculnya ide-ide besar yang merubah keadaan.

Pada sudut pandang sejarah, terminologi 'kiri' sering dialamatkan pada pemikiran dan gerakan sosial yang berusaha melakukan dikte atau pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang 'dimapankan' oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Terminologi 'kiri' juga sering menjadi 'hantu' ketika ia dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol-simbol 'revolusi' sebagaimana Sosialisme, Marxisme, dan Komunisme.

Bahkan dalam ruang kesadaran manusia sampai saat ini, 'stigmatisasi' terminologi 'kiri' sudah melembaga. Terlebih ketika terminologi tersebut dikontekskan pada keadaan dimana terdapat luka sejarah.

Misalkan Indonesia, kesadaran masyarakat Indonesia pernah disesaki oleh ide-ide 'membumi hanguskan' segala hal yang baunya kiri.



Masih segar dalam ingatan tanggal 19 April 2001 lalu di negeri ini terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap berbau kiri dan kekiri-kirian. Yang menjadi masalah, aksi tersebut difokuskan pada beberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxisme atau yang dianggap 'mengganggu' kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan. Yang menggelikan adalah, perlawanan atas model pemikiran tersebut harus digerakan secara naif dengan membakar atau membumi-hanguskan hasil pemikirannya (bukunya), bukan dengan melawan melalui pelemparan gagasan-gagasan lain.

Seperti hasil wawancara Kompas dengan Franz Magnis Suseno edisi 5 Mei 2001 yang menyatakan bahwa fenomena membakar buku adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran yang tidak mampu dilawan dengan pikiran. Fenomena tersebut menunjukan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, dan juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminologi 'kiri'.

Apakah selama ini masyarakat Indonesia terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah?, bahwa hasil pemikiran yang 'berbeda' dengan arus utama (mainstream) yang berkembang pada saat yang bersangkutan selalu dianggap sebagai model pemikiran 'kiri'. Dan yang lebih parah, 'kiri' selalu identik dengan Komunisme, 'kiri' selalu identik dengan 'kaum tidak berTuhan'.

Padahal, jelas, wacana pemikiran 'kiri' adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang terkesan 'nakal' yang bertujuan menghancurkan segala hal yang berbau 'kemapanan' kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern. Bisa saja kemapanan (termasuk kemapanan pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Listiyono Santoso dalam bukunya Stigamtisasi dan Vandalisme Dunia Pemikiran Kita menyebutkan pembongkaran atas situasi mapan dari sebauh kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan 'kiri', terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah dan topeng ideologi-ideologi.

Jika ditinjau dari perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan 'kiri' sesungguhnya lebih diletakan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya dan bahkan kebenaran absolut. Yang mengerikan adalah, pada saat bersamaan, kebenaran utama itu akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan.

Karena itulah, perspektif 'kiri' dalam konteks ini sekadar membongkar asumsi dasar epistemologis penyusunan sebuah pengetahuan. Apa jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan sesungguhnya hanya tersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran?.

Keberhasilan pembongkaran tidak saja akan meruntuhkan pilar-pilar yang menyusun sebuah pengetahuan, tetapi ia juga akan menjadi kekuatan efektif untuk mengubah keadaan-keadaan formal yang manipulatif. (Cecilia)

..Selengkapnya..

Monday, March 2, 2009

Cecil's Note
Eksploitasi Klaim Swasembada Beras

PeePoop - Klaim swasembada beras dilakukan secara berbarengan oleh Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pemerintah melalui SBY pun ikut menyampaikankan klaim berhasil ini. Apakah swasembada beras benar-benar terjadi dan sudah menjadi suatu fakta yang bisa dipertanggung jawabkan?, atau hanya ajang kampanye bohong berjamaah partai-partai politik menjelang Pemilu 2009?.

Seorang guru besar Universitas Lampung Prof. Bustanil Arifin meragukan klaim tersebut. Alasannya karena pemerintah selalu merujuk pada data yang didapat dari Biro Pusat Statistik, yang belakangan ini diragukan kredibilitasnya, bahkan ditenggarai melakukan kesalahan pada basis metode penghitungannya. Prof. Bustanil mengatakan bahwa BPS selama ini hanya mengacu pada peningkatan areal pertanian dari tahun ke tahun, tanpa memperhitungkan banyaknya areal yang rusak karena bencana alam.

Harusnya swasembada pangan bisa dilihat sebagai hasil dari program pembangunan pertanian. Tentu indikatornya bukan hanya berakhir pada sisi produksi. Harus ada indikator lain semacam peningkatan nilai tambah bagi pendapatan petani dan peningkatan kesejahteraan rakyat pedesaan. Dan yang paling penting, klaim swasembada pangan harus menghasilkan turunnya harga beras, pangan murah dan berkualitas, dan meredam jumlah kelaparan dan gizi buruk.


Jangan melupakan konsekuensi strategi pembangunan pertanian. Klaim swasembada pangan yang diklaim pemerintah dan beberapa partai politik saat ini mempunyai banyak indikator kegagalan. Jumlah rakyat miskin di Indonesia adalah 37,17 juta orang atau sekitar 16,58 % dari total keseluruhan penduduk. Sebanyak 23,61 juta penduduk miskin itu berada di daerah perdesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Bahkan, menurut data BPS tahun 2007, 72% kelompok petani miskin adalah dari subsektor pertanian pangan.

Klaim keberhasilan swasembada ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) tidak menjadi lebih baik. Dan juga jangan dilupakan masalah kelangkaan pupuk subsidi dan non-subsidi yang selalu saja terjadi dan mencapai puncaknya pada 2008 lalu. Padahal anehnya, Pemerintah mengatakan pupuk bersubsidi sebagai kunci keberhasilan swasembada pangan.

Kebenaran klaim swasembada beras juga dipertanyakan oleh wartawan Kompas Andreas Maryato. Seperti yan ditulis Kompas edisi 24 Februari 2009, peningkatan produksi beras terjadi bukan karena keberhasilan program pemerintah dalam memacu produksi, melainkan tidak lebih karena faktor cuaca pada musim kemarau yang cenderung basah, persis seperti yang pernah terjadi pada tahun 2003

Sulit mengharapkan swasembada pangan yang benar-benar terjadi selama Pemerintah masih tersandera oleh jerumus neo liberalisme pada sektor pertanian. Dengan dalih liberalisasi, pemerintah melepas tanggung jawabnya pada pertanian dan mudahnya melemparkan sektor pertanian pada mekanisme pasar. Sampai saat ini pun Pemerintah masih mengembangkan sektor pertanian berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dengan WTO. Hasilnya produk pertanian Indonesia dikelola dengan SDM rendah, teknologi rendah, modal tipis. Belum lagi semakin menipisnya anggaran untuk sektor pertanian. Semuanya karena mekanisme pasar yang entah kenapa masih terus dianut oleh Pemerintah.

Jika hanya menghasilkan konsekuensi pada sisi produksi seperti tidak lagi mengimpor beras, sayang sekali ini bukanlah suatu keberhasilan. Perlu diketahui, sampai saat ini Indonesia masih terus mengimpor beras, meskipun dalam jumlah kecil, yakni 200-400 ribu ton.

Lalu, apakah perang klaim yang dilakukan oleh Pemerintah, Partai Demokrat, Golkar, dan PKS akan terus berlanjut?. Rasanya itu memalukan, jika klaim keberhasilan hanyalah hal yang manipulatif. Ataukah manipulasi dan kebohongan saja yang bisa dilakukan mereka?. (Cecil)

..Selengkapnya..

Monday, February 9, 2009

Editorial
Pertamina, Lupakan Sejenak Tekad Mendunia!


PeePoop - Teka-teki dan spekulasi siapa Direktur Utama baru Pertamina akhirnya terjawab Kamis (5/2) siang kemarin. Untuk pertama kalinya Pertamina memilih perempuan cerdas bernama Karen Agustiawan sebagai pemimpin. Insinyur Teknik Fisika lulusan ITB Bandung tersebut didampingi oleh Omar Sjawaldi Anwar sebagai Wakil Dirut.

Tantangan terbesar Karen sebagai Dirut baru adalah menghilangkan intervensi pihak luar kedalam tubuh Pertamina. Sudah bukan rahasia lagi jika sering terjadi intervensi di BUMN Indonesia.


Pertamina sebagai salah satu BUMN yang paling strategis, sering sekali dijadikan mesin ATM menggiurkan bagi pejabat tinggi negara, baik sejak masa Orde Baru maupun hingga Orde Reformasi saat ini. Banyak intervensi yang terjadi dengan motif korupsi, baik oleh kalangan internal sendiri maupun departemen yang membawahinya. Mulai era kepemimpinan Ibnu Soetowo sampai beberapa penggantinya pun Pertamina sering sekali tersandung masalah.

Jadi, pernyataan pertama Karen bahwa ia akan menolak intervensi, seharusnya bisa menjadi "warning" bagi para pejabat tinggi negara yang hobi intervensi.

Rakyat akan berharap bahwa tidak akan ada lagi antrean panjang BBM. Rakyat akan berharap bahwa tidak akan ada lagi gas "yang menghilang". Yang rakyat inginkan mungkin hanyalah barang ada ketika dibutuhkan, tidak peduli apapun program pemerintah.

Sebagai ilustrasi, rakyat Rusia (Uni Soviet) lebih menghargai Joseph Stalin daripada Mikhail Gorbachev. Alasannya, di era Stalin, meskipun antre panjang, tapi roti tetap ada dengan harga terjangkau. Tapi ketika era Gorbachev, walaupun sudah antre, ternyata seringkali roti tidak ada.

Jadi, masalah-masalah yang sering dialami Pertamina adalah karena intervensi yang terlalu besar. Karena intervensi lah program konversi minyak tanah ke gas pemerintah terlihat kewalahan. Karena intervensi lah, terjadi antrean panjang BBM.

Tantangan nyata lainnya adalah, Pertamina harus mampu melayani "kebutuhan rakyat" sepenuhnya. Pertamina harus mampu menyediakan pasokan BBM dalam negeri secara cukup, dan tentunya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Rakyat tidak akan peduli pada mimpi Pertamina untuk menjadi perusahaan yang mendunia. Walaupun pada sektor kegiatan eksplorasi dan produksi migas, program eksplorasi Pertamina di Vietnam, Malaysia, Libya, Sudan, Qatar, Ekuador, Brazil, Kamboja, Kamerun, Algeria, dan Iran, pantas didukung.

Kini, rakyat tinggal berharap kepada Karen untuk menghilangkan atau meminimalisir intervensi dari para pejabat tinggi negara. Dan ada baiknya, Karen memprioritaskan pasokan dalam negeri, dan sejenak melupakan tekad menjadi perusahaan internasional.

Untuk apa jadi perusahaan minyak internasional seperti Petronas, jika kebutuhan dalam negeri saja kewalahan?. (thePuki)

..Selengkapnya..

Thursday, February 5, 2009

Cecil's Note
Pesan Nenek Bijak Tentang Pemekaran Daerah


PeePoop - Seorang nenek bijak punya pemahaman bahwa Demokrasi hanyalah alat menuju kesejahteraan, bukan sebagai tujuan. Demokrasi adalah sebuah sistem nilai, objektif, dan mengandalkan akal sehat.

Jadi harusnya para elit politik di Indonesia merasa malu kepada nenek bijak tersebut. Karena dalam pemahaman nenek tersebut demokrasi itu bukan hanya sekedar mekanisme politik, tetapi sebagai sistem nilai.

Menanggapi tragedi demonstrasi "barbar" di Medan kemarin, nenek bijak tersebut tidak heran. Karena walaupun demokrasi sudah diperkenalkan sejak 2.400 tahun yang lalu, tapi demokrasi tetap sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Karena itulah nenek bijak tersebut tidak heran, karena bangsa ini belum stabil dalam hal latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya.


Mungkin banyak yang akan setuju dengan pendapat nenek bijak tersebut, bahwa demokrasi yang saat ini sedang diusung oleh semua partai politik di negeri ini tidak lebih hanya slogan indah untuk membangun harapan dan impian.

Berkaitan dengan demonstrasi "barbar" di Medan tersebut, adalah erat dengan kenyataan bahwa pada isu pemekaran daerah ternyata selalu lebih dominan kepentingan para elit politik yang lebih dominan.

Kebijakan pemekaran daerah sudah berlangsung hampir 5 tahun. Sejak disahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004, hingga Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 173 kabupaten, dan 35 kota.

Memang, tujuan pemekaran daerah adalah tujuan yang mulia. untuk meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat setempat. Tapi harus diakui bahwa pemekaran daerah sering di dominasi oleh kepentingan politik, bahkan selalu menjadi bisnis politik yang menghasilkan lahan uang.

Nenek bijak tersebut bertanya, adakah yang bisa menjamin bahwa pelolosan daerah pemekaran tidak diwarnai adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme?. Kepentingan substansif peningkatan pelayanan masyarakat, efisiensi penyelengaraan pemerintahan, dan dukungan terhadap pembangunan ekonomi setempat, hanyalah omong kosong bagi nenek bijak tersebut.

Bagaimana caranya tidak ada korupsi dan permaianan uang?, jika merujuk pada Pasal 16 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 120 Tahun 2000, ada sembilan tahap yang harus dilalu dalam prosedur pemekaran daerah. Diawali dengan mobilisasi kemauan politik masyarakat dan penelitian. Setelah itu harus memperoleh persetujuan dari pihak-pihak terkait seperti DPRD, Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, Gubernur, Mendagri, dan DPOD, hingga persetujuan Presiden dan DPR terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah.

Proses sangat panjang dan syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut, otomatis menguras anggaran dan sumber daya ekonomi dan politik publik. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan disetiap tahap dalam proses pemekaran daerah?, nenek bijak tersebut bertanya.

Nenek bijak itu juga bertanya, bagaimana dengan hal dukungan politik masyarakat?. Karena seringkali dalam pemekaran daerah erat hubungannya dengan sentimen etnis dan agama. Otomatis akan memicu konflik baru karena perekrutan birokrasi tidak bisa hanya didasarkan pada representasi etnis dan agama.

Dan yang paling penting adalah, pemekaran daerah adalah investasi politik dan ekonomi yang memicu hadirnya para "penunggang ekonomi" yang tentunya selalu menguntungkan para elit rakus.

Pemekaran daerah bagi para elit rakus juga berarti pelebaran sumber daya politik dalam bentuk jabatan politik baru. Para elit di birokrasi juga akan beruntung dengan promosi eselon dan jabatan struktural baru di daerah pemekaran.

Nenek bijak tersebut pun hanya bisa berharap bahwa pemekaran daerah janganlah dijadikan sebagai satu-satunya solusi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kerjasama antar daerah bisa dijadikan alternatif.

Akhirnya nenek bijak pun berpesan, janganlah berbicara soal demokrasi jika demokrasi itu sendiri masih menjadi mekanisme politik yang menguntungkan para elit.

Karena disaat demokrasi tidak dianggap sebagai sistem nilai, maka kejadian demonstrasi "barbar" di Medan bukan sebuah kejutan atau keheranan besar. Karena tidak ada akal sehat dari para demokrat di negeri demokrasi ini, masih banyak yang mudah ditunggangi, nenek itu berkata. (Cecil)

..Selengkapnya..

Monday, February 2, 2009

Our Perspective
Parade Calon Dalam Imagologi Politik

PeePoop - Mendekati Pemilu April 2009, bursa persaingan Calon Legislatif (Caleg) kembali meramai. Semua tempat publik di seluruh Indonesia tidak ada yang luput dari media-media promosi para Caleg. Publik sebagai elemen pemilih terpenting dibuat bingung dan terpaksa harus mengkonsumsi parade promosi para Caleg. Dan hal ini berkaitan erat dengan Imagologi.

Jon Simons menganalisis terjadinya perubahan politik, dari ideologi menuju imagologi. Analisis Jon Simons tersebut berdasarkan kekecewaan Milan Kunder dalam karyanya Immortality bahwa terjadi bentuk pemiskinan politik. Dan imagologi telah membuat pilihan politik (partisipasi politik) tidak ada bedanya dengan pilihan konsumsi, dalam arti pilihan yang dibuat oleh publik sangat dipengaruhi oleh daya tarik emosi dan rasa, ketimbang pilihan reflektif.


Imagologi menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian representasi visual dan naratif. Artinya semua yang terlibat dalam panggung politik adalah agensi periklanan, entah itu skala kecil atau skala besar.

Jadi jika ingin berlagak gila, yang patut dipilih dari panggung politik menjelang Pemilu 2009 sebenarnya bukan para Caleg atau Capres Cawapres, tapi para manajer kampanye politik dan perancang design kampanye politik. Karena mereka adalah para imagolog yang menciptakan sebentuk image yang mempengaruhi cita rasa, bahkan opini-opini politik.

Jean Baudrillard, seperti yang dikutip dari Jon Simmons, menyebutnya suatu hiper realitas, yaitu suatu penghapusan realitas yang merujuk pada dunia simulacra yang diciptakan oleh simulasi. Dan simulasi tersebut tidak merepresentasikan atau merujuk pada realitas, tapi pada dirinya sendiri, yang bahkan bisa lebih kuat dari realitas itu sendiri.

Habermas mengungkapkan jika dunia media dan visual semakin kuat merambah tubuh politik, maka akan terjadi distorsi komunikasi yang sistematis serta pemiskinan politik dengan terbunuhnya nalar kritis publik. Jadi bagi Habermas, imagologi adalah suatu bentuk manipulatif atas publik dan menggantikan publikasi kritis.

"Old style propagandists give way to advertising experts". Habermas menilai bahwa propaganda dan periklanan tampil sebagai otoritas publik yang mengarahkan publik menjadi tidak lebih sebagai konsumen. Partai-partai politik merayu para pemilih mengambang dengan menunjukan teknik media massa, dan menampilkan image se-menarik dan se-atraktif mungkin.

Jika di konteks-kan dengan politik Indonesia menjelang Pemilu 2009, maka terasa jelas bahwa wilayah politik Indonesia tidak lebih sebagai wilayah yang terjajah oleh uang dan imagologi. Visi dan Misi partai atau figur calon menjadi tidak penting, pencitraan lah yang menjadi hal terpenting dalam kontestasi politik.

Dalam imagologi, politik di Indonesia adalah iklan yang dirancang para perancang kampanye politik. Semua masalah-masalah tergantikan oleh imaji. rayuan-rayuan yang seakan-akan argumentasi dan platform-nya hanya dilihat lewat personalitas. Nalar digantikan dengan imajinasi, argumen digantikan slogan, dan diskusi digantikan oleh iklan. Fenomena artis dan iklan para Caleg dan Capres Cawapres telah memenuhi syarat imagology dan analisis Habermas menjadi sangat relevan.

Logika dasar dari imagologi adalah, semakin sering seseorang tampil di televisi atau media-media publik maka akan semakin besar kesempatannya untuk masuk ke dalam kepala setiap pemilih, walaupun belum tentu terpilih.

Imagologi politik telah membuka ruang bagi munculnya para agen iklan dan fungsi masif media ke dalam politik. Argumentasi, kualitas, bobot, dan kapabilitas seorang calon menjadi tidak penting, yang penting adalah bagaimana "kemasan" calon tersebut agar publik menyukainya, atau paling tidak mengingatnya.

Jika imagologi politik terus berlangsung, maka kelangsungan bangsa ini sedang dalam bahaya. Semoga publik akan memilih pemimpin nasional atas dasar pertimbangan rasional dan nalar, bukan karena kreasi visual dan naratif, bukan karena kemasan iklan kampanye yang menggoda dan meyakinkan, dan bukan karena parade poster partai-partai dan Caleg-caleg.

Jika publik sudah rasional dan menggunakan nalar, maka tidak ada gunanya jika partai-partai politik yang ada tidak mencalonkan orang-orang yang memiliki kemampuan, intelektualitas, kapabilitas, dan loyalitas terhadap kepentingan bersama, karena partai-partai politik hanya akan mengeksploitasi khayalan publik lewat pencitraan yang mereka bentuk.

"Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang." (Will Rogers, pelawak politik). (thePuki)

..Selengkapnya..