PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Monday, February 2, 2009

Our Perspective
Parade Calon Dalam Imagologi Politik

PeePoop - Mendekati Pemilu April 2009, bursa persaingan Calon Legislatif (Caleg) kembali meramai. Semua tempat publik di seluruh Indonesia tidak ada yang luput dari media-media promosi para Caleg. Publik sebagai elemen pemilih terpenting dibuat bingung dan terpaksa harus mengkonsumsi parade promosi para Caleg. Dan hal ini berkaitan erat dengan Imagologi.

Jon Simons menganalisis terjadinya perubahan politik, dari ideologi menuju imagologi. Analisis Jon Simons tersebut berdasarkan kekecewaan Milan Kunder dalam karyanya Immortality bahwa terjadi bentuk pemiskinan politik. Dan imagologi telah membuat pilihan politik (partisipasi politik) tidak ada bedanya dengan pilihan konsumsi, dalam arti pilihan yang dibuat oleh publik sangat dipengaruhi oleh daya tarik emosi dan rasa, ketimbang pilihan reflektif.


Imagologi menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian representasi visual dan naratif. Artinya semua yang terlibat dalam panggung politik adalah agensi periklanan, entah itu skala kecil atau skala besar.

Jadi jika ingin berlagak gila, yang patut dipilih dari panggung politik menjelang Pemilu 2009 sebenarnya bukan para Caleg atau Capres Cawapres, tapi para manajer kampanye politik dan perancang design kampanye politik. Karena mereka adalah para imagolog yang menciptakan sebentuk image yang mempengaruhi cita rasa, bahkan opini-opini politik.

Jean Baudrillard, seperti yang dikutip dari Jon Simmons, menyebutnya suatu hiper realitas, yaitu suatu penghapusan realitas yang merujuk pada dunia simulacra yang diciptakan oleh simulasi. Dan simulasi tersebut tidak merepresentasikan atau merujuk pada realitas, tapi pada dirinya sendiri, yang bahkan bisa lebih kuat dari realitas itu sendiri.

Habermas mengungkapkan jika dunia media dan visual semakin kuat merambah tubuh politik, maka akan terjadi distorsi komunikasi yang sistematis serta pemiskinan politik dengan terbunuhnya nalar kritis publik. Jadi bagi Habermas, imagologi adalah suatu bentuk manipulatif atas publik dan menggantikan publikasi kritis.

"Old style propagandists give way to advertising experts". Habermas menilai bahwa propaganda dan periklanan tampil sebagai otoritas publik yang mengarahkan publik menjadi tidak lebih sebagai konsumen. Partai-partai politik merayu para pemilih mengambang dengan menunjukan teknik media massa, dan menampilkan image se-menarik dan se-atraktif mungkin.

Jika di konteks-kan dengan politik Indonesia menjelang Pemilu 2009, maka terasa jelas bahwa wilayah politik Indonesia tidak lebih sebagai wilayah yang terjajah oleh uang dan imagologi. Visi dan Misi partai atau figur calon menjadi tidak penting, pencitraan lah yang menjadi hal terpenting dalam kontestasi politik.

Dalam imagologi, politik di Indonesia adalah iklan yang dirancang para perancang kampanye politik. Semua masalah-masalah tergantikan oleh imaji. rayuan-rayuan yang seakan-akan argumentasi dan platform-nya hanya dilihat lewat personalitas. Nalar digantikan dengan imajinasi, argumen digantikan slogan, dan diskusi digantikan oleh iklan. Fenomena artis dan iklan para Caleg dan Capres Cawapres telah memenuhi syarat imagology dan analisis Habermas menjadi sangat relevan.

Logika dasar dari imagologi adalah, semakin sering seseorang tampil di televisi atau media-media publik maka akan semakin besar kesempatannya untuk masuk ke dalam kepala setiap pemilih, walaupun belum tentu terpilih.

Imagologi politik telah membuka ruang bagi munculnya para agen iklan dan fungsi masif media ke dalam politik. Argumentasi, kualitas, bobot, dan kapabilitas seorang calon menjadi tidak penting, yang penting adalah bagaimana "kemasan" calon tersebut agar publik menyukainya, atau paling tidak mengingatnya.

Jika imagologi politik terus berlangsung, maka kelangsungan bangsa ini sedang dalam bahaya. Semoga publik akan memilih pemimpin nasional atas dasar pertimbangan rasional dan nalar, bukan karena kreasi visual dan naratif, bukan karena kemasan iklan kampanye yang menggoda dan meyakinkan, dan bukan karena parade poster partai-partai dan Caleg-caleg.

Jika publik sudah rasional dan menggunakan nalar, maka tidak ada gunanya jika partai-partai politik yang ada tidak mencalonkan orang-orang yang memiliki kemampuan, intelektualitas, kapabilitas, dan loyalitas terhadap kepentingan bersama, karena partai-partai politik hanya akan mengeksploitasi khayalan publik lewat pencitraan yang mereka bentuk.

"Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang." (Will Rogers, pelawak politik). (thePuki)

0 comments: