PeePoop - Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. Dengan kenyataan bahwa bidang kehidupan publik sudah dikuasai oleh media, iklan menjadi suatu alat yang tepat untuk meraih dukungan konsumen. Tak terkecuali dalam kegiatan pemasaran politik.
Menurut P. Kotler, Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran.
Peran media sangat menentukan dalam proses pemasaran politik yang sedang ramai saat ini. Berdasarakan Jurnal Sosial Demokrasi, Juli-September 2008, perkembangan pesat televisi swasta nasional telah menjangkau 80% penduduk, dengan potensi viewers berkisar 118 juta penduduk. Tentu jumlah yang menggiurkan bagi para penjual politik. Belum lagi ditambah dengan peran lembaga-lembaga survei yang ada sebagai basis dukungan korelasi media dan pemasaran politik.
Kebutuhan pemasaran politik tersebut otomatis menghasilkan belanja politik yang tinggi. Dalam survey AC Nielsen Juli-Desember 2008 lalu, pengeluaran biaya iklan Partai Gerindra dan Partai Demokrat terus meningkat setiap bulannya. Dan disinilah peran kerangkan neo liberalisme berbicara.
Neo liberalisme menurut Andrés Pérez Baltodano merupakan sebuah mekanisme yang memastikan kekuasaan negara berjalan untuk mendukung dan menfasilitasi kepentingan segelintir elit korporasi atau oligarki dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme (terpaksa) diterima sebagai sesuatu yang normal. Dengan neo liberalisme, sistem demokrasi tentu mengakomodir pemilik korporasi, pejabat partai, dan korporasi untuk bertransaksi aktif layaknya di pasar memperdagangkan produk mereka.
Dan saat itulah, rakyat menjadi tidak lebih sebagai konsumen pasif yang mau tidak mau harus tunduk pada hukum pasar. Kompetisi politik yang ada hanya berbasiskan modal, sama sekali tidak memberikan ruang bagi kalangan menengah kebawah untuk terjun dalam kontestasi politik. Contohnya, dengan kebutuhan belanja politik yang begitu besar, apakah mungkin seorang tukang becak menjadi Presiden?, atau bagaimana mungkin seorang calon independen bisa masuk ke pemerintahan inti?.
Walaupun secara teoritis, politik merupakan arena bagi semua kelompok, individu, atau sektor sosial untuk bertarung memperjuangkan kepentingan.
Orde Baru dengan suksesnya telah melakukan depolitisasi. Partisipasi rakyat dalam politik dikikis, dan terjadi penyeragaman ideologi pada level politik.
Dalam demokrasi liberal, sebuah partai atau politisi hanya sekedar memunculkan "brand image" kepada konsumen, dalam hal ini rakyat. Soal "inti" atau "isi" atau program, visi, dan cita-cita menjadi tidak penting.
Perkembangan ofensif neo liberal jika dibiarkan akan semakin menghilangkan kontestasi ideologi politik. Ia hanya akan membuka pintu bagi para pemegang modal, sementara pintu partisipas politik rakyat akan tertutup.
Partai-partai akan disibukan dengan bentuk-bentuk kerja praktis hanya untuk memenangkan pasar kandidat, tentu dengan metode pemasaran politiknya dan dukungan dari media. (thePuki)
Menurut P. Kotler, Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran.
Peran media sangat menentukan dalam proses pemasaran politik yang sedang ramai saat ini. Berdasarakan Jurnal Sosial Demokrasi, Juli-September 2008, perkembangan pesat televisi swasta nasional telah menjangkau 80% penduduk, dengan potensi viewers berkisar 118 juta penduduk. Tentu jumlah yang menggiurkan bagi para penjual politik. Belum lagi ditambah dengan peran lembaga-lembaga survei yang ada sebagai basis dukungan korelasi media dan pemasaran politik.
Kebutuhan pemasaran politik tersebut otomatis menghasilkan belanja politik yang tinggi. Dalam survey AC Nielsen Juli-Desember 2008 lalu, pengeluaran biaya iklan Partai Gerindra dan Partai Demokrat terus meningkat setiap bulannya. Dan disinilah peran kerangkan neo liberalisme berbicara.
Neo liberalisme menurut Andrés Pérez Baltodano merupakan sebuah mekanisme yang memastikan kekuasaan negara berjalan untuk mendukung dan menfasilitasi kepentingan segelintir elit korporasi atau oligarki dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme (terpaksa) diterima sebagai sesuatu yang normal. Dengan neo liberalisme, sistem demokrasi tentu mengakomodir pemilik korporasi, pejabat partai, dan korporasi untuk bertransaksi aktif layaknya di pasar memperdagangkan produk mereka.
Dan saat itulah, rakyat menjadi tidak lebih sebagai konsumen pasif yang mau tidak mau harus tunduk pada hukum pasar. Kompetisi politik yang ada hanya berbasiskan modal, sama sekali tidak memberikan ruang bagi kalangan menengah kebawah untuk terjun dalam kontestasi politik. Contohnya, dengan kebutuhan belanja politik yang begitu besar, apakah mungkin seorang tukang becak menjadi Presiden?, atau bagaimana mungkin seorang calon independen bisa masuk ke pemerintahan inti?.
Walaupun secara teoritis, politik merupakan arena bagi semua kelompok, individu, atau sektor sosial untuk bertarung memperjuangkan kepentingan.
Orde Baru dengan suksesnya telah melakukan depolitisasi. Partisipasi rakyat dalam politik dikikis, dan terjadi penyeragaman ideologi pada level politik.
Dalam demokrasi liberal, sebuah partai atau politisi hanya sekedar memunculkan "brand image" kepada konsumen, dalam hal ini rakyat. Soal "inti" atau "isi" atau program, visi, dan cita-cita menjadi tidak penting.
Perkembangan ofensif neo liberal jika dibiarkan akan semakin menghilangkan kontestasi ideologi politik. Ia hanya akan membuka pintu bagi para pemegang modal, sementara pintu partisipas politik rakyat akan tertutup.
Partai-partai akan disibukan dengan bentuk-bentuk kerja praktis hanya untuk memenangkan pasar kandidat, tentu dengan metode pemasaran politiknya dan dukungan dari media. (thePuki)
0 comments:
Post a Comment