PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Tuesday, April 29, 2008

Perspective : Orasi Bung Karno dan Senyum Misterius Soeharto

Pengaruh buruk atas republik adalah kolonialisme dan feodalisme. Ketika kolonialisme tertendang dan feodalisme memudar, kekuasaan menjadi personal.

PeePoop - Begitulah kira-kira petikan pemikiran dari Tan Malaka, yang secara gamblang terbukti dari Orasi Bung Karno dan Senyum Misterius Soeharto. Mereka berdua dan pemimpin-pemimpin yang hadir setelah mereka selalu 'mendewakan demokrasi' sebagai sesuatu yang mampu membawa bangsa ini ke tempat yang lebih tinggi.

Indonesia dulu dijajah oleh senjata dan kolonialisme, sekarang Indonesia dijajah oleh utang negara dan kapitalisme. Jaman Feodal, Soekarno yang dikenal sebagai penyambung lidah rakyat selalu bersemangat mendengungkan nasionalisme, sadar atau tidak cara itu sangat jitu dan mampu membakar semangat rakyat untuk mengusir penjajah, walaupun hal tersebut didapat sedikit oportunis. Setelah bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan, Soekarno terus beraksi dengan semangat Nasakomnya. Sebuah ide yang jika diukur untuk ukuran masa lalu adalah ide yang amat sangat jenius. PKI meraih simpati rakyat terbesar, kader-kader PKI meluas keseluruh daratan Indonesia, buruh-buruh, petani, kaum marjinal, rakyat kecil semua seragam bernyanyi Genjer-genjer, sepertinya Komunis akan mejadi ideologi dasar Indonesia. Tapi, munculah Soeharto, figur yang dikenal sangat anti-komunis. Pemberontakan meledak pada september 1965, 7 Jendral dari Dewan Jendral menjadi incaran, tragedi tidak terelakkan. Lalu Soehartopun bertindak, menumpas hampir 300ribu antek PKI, sekaligus menjadikan Soeharto sebagai salah satu Pembunuh Massal Terbesar sepanjang sejarah dan mampu disejajarkan dengan Hitler, Mao, dan Stalin. Alasannya simple, Soeharto melakukan penumpasan itu dengan dalih Komunis tidak cocok untuk hidup di iklim Indonesia, Pancasila harus tetap berdiri, dan Demokrasi harus tetap hidup, tidak ada cara lain. Indonesia pun kembali kejalur Demokrasi, jalur yang diklaim sebagai jalur dasar agar bangsa ini mampu berlari dengan kencang.

32 tahun berlalu, pemerintahan Soeharto yang pada awalnya berdasar pada Demokrasi ternyata terlihat tidak Demokrasi, cenderung ke otoriter. 20 tahun pertama pemerintahan Soeharto terlihat banyak kemajuan, tapi sayang semua Kemajuan ternyata Palsu. Indonesia ternyata dijajah secara Intelektual, harta dirampas dengan cara-cara licin dan licik. Birokrasi menjadi tuan tanah, Jajaran Pemerintahan menjadi boneka-boneka yang hanya mengikuti keinginan tuannya. Indonesia pun hancur lebur. Swasembada pangan yang pernah diraih, sekarang menjadi negara pengimport beras terbesar didunia. Negara yang pernah disebut sebagai macan Asia, sekarang hanya menjadi pesakitan luar biasa. Negara yang dikenal sangat ramah, berubah menjadi negara beringas dan anarkis. Letupan kemarahan rakyat meledak pada 1998. Reformasi didengungkan keras keseluruh nusantara, semua elemen negara menuntut perubahan, perubahan yang lebih dan murni demokrasi. Sekali lagi tentang Demokrasi.

Pada proses reformasi, tidak ada perubahan spesifik. Ironisnya, para pemuja Demokrasi yang pernah berteriak lantang diwaktu sebelumnya, saat ini malah meragukan hasil Demokrasi tersebut. Mereka berkata dengan penuh semangat, demokrasi berbiaya sangat mahal, persoalan sepele dibahas berbulan-bulan, keindonesiaan ditelanjangi, olahraga selalu kalah, sedangkan rakyat tetap miskin. Inikah Demokrasi?.

Sikap lelah atas demokrasi sama berbahayanya dengan ketakutan atas sistem monarki dan diktatorial.

BJ. Habibie, pernah memperbaiki sistem keindividuan tersebut dengan menawarkan sesuatu yang lebih Demokrasi. Tapi sayang, Habibie menjadi korban pertama dari Proses Demokrasi tersebut, ditolak menjadi Presiden pada pemilihan umum. Lalu muncul figur hebat yang seluruh hidupnya bertumpu pada ranah demokrasi kultural, sayangnya Abdurahmman Wahid akhrinya terjungkal lewat sesuatu yang disebut Demokrasi Struktural dan Demokrasi Prosedural.

Bangsa ini lalu mendapatkan seorang Jendral lagi, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Walaupun ia pendiri Partai Demokrat, ironisnya sampai saat ini hanya bisa disebut sebagai pemuja Demokrasi. Saking demokratisnya, Yudhoyono lebih berupaya memperkuat sistem multipartai ketimbang sistem presidensial. Ia memberi porsi kepada wakil-wakil partai di kabinet.

Lalu dimana sebenarnya peran Demokrasi sesungguhnya?

Jelas sudah, demokrasi menghilangkan pangkat orang berpangkat. Presiden pun mudah dituduh tidak punya nyali atau memilih orang-orang tak tepat. Apabila tidak suka dengan keputusan presiden, bisa Anda gugat di pengadilan. Para ulama yang kehilangan terompah di tangga Istana diam-diam ditinggal umatnya. Menteri-menteri yang doyan bernyanyi tak lagi bisa dihafal nama-namanya oleh para pelajar. Buku-buku yang tak masuk akal disobek-sobek atau dicorat-coret hingga tak bisa lagi dibaca.


Jusuf Kalla, sebagai duet Demokratis SBY, sangat jauh berbeda dengan SBY. Ia terlalu menimbang untung dan rugi dalam neraca demokrasi. Tidak mengherankan kalau Kalla sering menuduh demokrasi tidak efektif dan inefisien. Biaya demokrasi terlalu mahal. Pemilu legislatif harus bersamaan dengan pemilu eksekutif. Kalau bisa, pemilihan kepala daerah digelar serentak. Demokrasi bukan tujuan, melainkan alat mencapai tujuan. Begitulah bunyi "doktrin Kalla".

Ada anggapan bahwa yang diuntungkan oleh Demokrasi sebenarnya hanya segelintir partai politik dan aktivis lembaga swadaya masyarakat, mungkin itu benar. Hal tersebut membuat rakyat menjadi 'sabar' atas tindak-tanduk pemerintah, tapi Proses Demokrasi itu sendiri menjadi sangat tidak terkendali, menjadi sesuatu yang tidak punya kesabaran.

Bangsa Indonesia memang tidak pernah sabar atas demokrasi. Seusai Pemilu 1955 yang ultraliberal, empat tahun kemudian Soekarno tidak lagi menjalankan pemilu, dengan mengeluarkan konsep demokrasi terpimpin. Hasilnya, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Soeharto, atas nama demokrasi Pancasila, malah bertahan lebih lama. Hanya mahasiswa bandel dan cendekiawan keras kepala yang membangkang, tapi segera menghuni pintu penjara.

Hasil Demokrasi di 2007 adalah banyaknya Pemilihan Kepala Daerah. Juga barisan politikus dan pejabat yang masuk penjara. Mereka ada pada pucuk pemimpin lembaga atau organisasi yang disebut sebagai tulang belakang demokrasi, yakni partai politik. Mereka besar dan dibesarkan oleh coblosan para pengemis serta orang lapar, penyakitan, dan berpendidikan rendah di kotak-kotak suara. Sebagai pemulung suara rakyat dengan jabatan terhormat, mereka tak segan mempertontonkan fasilitas mewah yang diterima.

Mungkin itulah hasil dari Ideologi yang selalu dibela dan dipertahankan dan pada akhirnya sering diragukan, yaitu Demokrasi. Rakyat harus berterima kasih pada pemimpin-pemimpin yang tetap menjaga eksistensi Demokrasi. Kalau demokrasi tidak hadir, barangkali pasukan loreng masih merajalela di jalan-jalan. Preman berpentung dan menggunakan sangkur di pinggang juga terus memburu pedagang kaki lima. Warung-warung makan beratap rumbia dipenuhi oleh gambar pemilik warung bersama orang-orang berpangkat. Ruang-ruang tamu orang-orang pasti dihiasi foto salaman dengan pejabat.

Tanpa kearifan intelektual dan kegigihan bak pejuang dan kesabaran, demokrasi memang terlihat menyedihkan. Tiga elemen yang sebenarnya telah merampas hak-hak warga negara, pelanggaran hak asasi manusia terus meningkat, proses hukum berjalan seadanya, kebutuhan semakin menipis, dan kekayaan konglomerat kotor dan pejabat makin menumpuk, dan lagi-lagi rakyat tetap miskin. (Shabutie)

0 comments: