PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Monday, March 2, 2009

Cecil's Note
Eksploitasi Klaim Swasembada Beras

PeePoop - Klaim swasembada beras dilakukan secara berbarengan oleh Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pemerintah melalui SBY pun ikut menyampaikankan klaim berhasil ini. Apakah swasembada beras benar-benar terjadi dan sudah menjadi suatu fakta yang bisa dipertanggung jawabkan?, atau hanya ajang kampanye bohong berjamaah partai-partai politik menjelang Pemilu 2009?.

Seorang guru besar Universitas Lampung Prof. Bustanil Arifin meragukan klaim tersebut. Alasannya karena pemerintah selalu merujuk pada data yang didapat dari Biro Pusat Statistik, yang belakangan ini diragukan kredibilitasnya, bahkan ditenggarai melakukan kesalahan pada basis metode penghitungannya. Prof. Bustanil mengatakan bahwa BPS selama ini hanya mengacu pada peningkatan areal pertanian dari tahun ke tahun, tanpa memperhitungkan banyaknya areal yang rusak karena bencana alam.

Harusnya swasembada pangan bisa dilihat sebagai hasil dari program pembangunan pertanian. Tentu indikatornya bukan hanya berakhir pada sisi produksi. Harus ada indikator lain semacam peningkatan nilai tambah bagi pendapatan petani dan peningkatan kesejahteraan rakyat pedesaan. Dan yang paling penting, klaim swasembada pangan harus menghasilkan turunnya harga beras, pangan murah dan berkualitas, dan meredam jumlah kelaparan dan gizi buruk.


Jangan melupakan konsekuensi strategi pembangunan pertanian. Klaim swasembada pangan yang diklaim pemerintah dan beberapa partai politik saat ini mempunyai banyak indikator kegagalan. Jumlah rakyat miskin di Indonesia adalah 37,17 juta orang atau sekitar 16,58 % dari total keseluruhan penduduk. Sebanyak 23,61 juta penduduk miskin itu berada di daerah perdesaan dan umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Bahkan, menurut data BPS tahun 2007, 72% kelompok petani miskin adalah dari subsektor pertanian pangan.

Klaim keberhasilan swasembada ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) tidak menjadi lebih baik. Dan juga jangan dilupakan masalah kelangkaan pupuk subsidi dan non-subsidi yang selalu saja terjadi dan mencapai puncaknya pada 2008 lalu. Padahal anehnya, Pemerintah mengatakan pupuk bersubsidi sebagai kunci keberhasilan swasembada pangan.

Kebenaran klaim swasembada beras juga dipertanyakan oleh wartawan Kompas Andreas Maryato. Seperti yan ditulis Kompas edisi 24 Februari 2009, peningkatan produksi beras terjadi bukan karena keberhasilan program pemerintah dalam memacu produksi, melainkan tidak lebih karena faktor cuaca pada musim kemarau yang cenderung basah, persis seperti yang pernah terjadi pada tahun 2003

Sulit mengharapkan swasembada pangan yang benar-benar terjadi selama Pemerintah masih tersandera oleh jerumus neo liberalisme pada sektor pertanian. Dengan dalih liberalisasi, pemerintah melepas tanggung jawabnya pada pertanian dan mudahnya melemparkan sektor pertanian pada mekanisme pasar. Sampai saat ini pun Pemerintah masih mengembangkan sektor pertanian berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dengan WTO. Hasilnya produk pertanian Indonesia dikelola dengan SDM rendah, teknologi rendah, modal tipis. Belum lagi semakin menipisnya anggaran untuk sektor pertanian. Semuanya karena mekanisme pasar yang entah kenapa masih terus dianut oleh Pemerintah.

Jika hanya menghasilkan konsekuensi pada sisi produksi seperti tidak lagi mengimpor beras, sayang sekali ini bukanlah suatu keberhasilan. Perlu diketahui, sampai saat ini Indonesia masih terus mengimpor beras, meskipun dalam jumlah kecil, yakni 200-400 ribu ton.

Lalu, apakah perang klaim yang dilakukan oleh Pemerintah, Partai Demokrat, Golkar, dan PKS akan terus berlanjut?. Rasanya itu memalukan, jika klaim keberhasilan hanyalah hal yang manipulatif. Ataukah manipulasi dan kebohongan saja yang bisa dilakukan mereka?. (Cecil)

0 comments: