PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Wednesday, June 4, 2008

Kutipan Media : Kenapa Kita Tak Lagi Terkaget-Kaget?


PeePoop - Apa yang terjadi di Monas (1/6) kemarin tak lagi membuat kita terkejut-kejut. Aksi kekerasan itu bukan kali pertama di lakukan Front Pembela Islam. Juga bukan kekerasan terakhir oleh ormas lain yang berlabel agama, pemuda atau lainnya.

Selain alasan yang sifatnya ideologis, anggota FPI punya motif yang kuat untuk melakukan kekerasan. Dari rentetan kekerasan sebelumnya, nyaris tak ada dari mereka yang diproses secara hukum. Paling jauh adalah penyelidikan di tingkat polisisi.Dan, untuk seterusnya terpendam dalam arsip berita. Baru dibuka-buka lagi ketika kekerasan serupa dengan korban yang lain terjadi di tempat yang berbeda.


Tanpa ada efek jera, anggota FPI cukup punya alasan untuk mengejawantahkan keyakinan ideologisnya secara semena-mena kepada mereka yang dianggapnya sebagai "musuh".

Efek jera yang konkrit hanya bisa diberikan oleh negara melalui aparat koersifnya (polisi dan pengadilan). Hingga hari ini, banyak yang bertanya, mengapa efek jera itu tak pernah diberikan? Tak ada anggota FPI yang ditangkap, terlebih diadili meski apa yang dilakukan sudah melabrak koridor hukum di negeri ini.

Karena pemerintah begitu lembek, tak heran mereka kian berani. Cermatilah keberangan Munarman, mantan Direktur YLBHI yang kini bergabung dalam barisan Hizbul Tahrir Indonesia. Kata Munarman, "Kenapa mereka mengadakan aksi untuk mendukung organisasi kriminal? AKKBB juga memasang iklan di koran untuk mendukung Ahmadiyah. Itu artinya mereka menantang kami lebih dulu. Jika tidak siap perang, jangan menantang," kata Munarman.


Tak Menuai Simpati
Pemerintah seperti gamang untuk bersikap tegas. Presiden SBY memang sudah menegaskan sikapnya melalui jubirnya, Andi Mallarangeng. Kata Andi, "Negara menjamin hak asasi setiap warga negara. Kalau ada warga negara melakukan kekerasan terhadap warga negara lain, negara akan melindungi korban dan menghukum yang melakukan kekerasan. Negara akan melakukan tindakan hukum melalui aparat-aparatnya."

Masalahnya, jaminan itu lebih mirip tong kosong yang nyaring bunyinya. Apakah Andi lupa, baru berbulan silang aksi kekerasan dan perusakan mesjid terjadi tanpa ada yang ditahan. Karena itu tak salah jika para korban menyangsikan kekuatan tekad pemerintah.

Situasinya makin kisruh karena kondisi politik sedang menghangat. Spekulasi pun bermunculan. Dari Cirebon, umpamanya, keluar analisis yang menuding pemerintah punya agenda lain. Aksi kekerasan itu, kata Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cirebon, Ujang Kusuma, merupakan upaya memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, serta diduga sebagai upaya mengalihkan isu kenaikan BBM. Sebab, pengamanan acara yang dilakukan Polri terkesan sangat lemah dan tidak ketat, padahal acara itu melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Pertanyaannya, mengapa selama ini pemerintah begitu toleran terhadap FPI? Para pengamat menilai hal ini karena sikap kepemimpinan SBY yang cenderung ingin menyenangkan semua orang. Tapi, yang dituai justru sebaliknya.

Simaknya komentar MUI yang disuarakan Amidhan hamdan. Meski menyesalkan terjadinya kekerasan, Mantan anggota Komnas HAM menilai bentrokan tak akan terjadi jika pemerintah bergegas mengeluarkan SKB yang menyatakan Ahmadiyah adalah organisasi yang terlarang. Jadi, dalam kacamata Amidhan, kekerasan itu adalah buah kelambanan sikap pemerintah.

Dan, jangan ditanya bagaimana respek kubu-kubu yang memperjuangkan keberagaman. Di mata mereka, SBY adalah figur konservatif yang tak bisa diharapkan menjadi pelindung dan pengayom.

Presiden SBY ada baiknya mendengar apa yang pernah diucapkan ekonom Faisal Basri bertahun silam. Kata Faisal, "Jika ingin menyenangkan semua orang, pada akhirnya kita bakal dibenci oleh semua orang,"

Secara politik itu mengisyaratkan adanya semacam keberpihakan dan sekaligus keberanian mengambil sikap dan posisi. Keberpihakan memang bakal menyakitkan sebagian, tapi itu adalah harga yang harus dibayar agar bisa memberi pelayanan terbaik kepada yang sisanya.

Keberpihakan tidaklah sama dengan sikap partisan. Keberpihakan mengandaikan adanya penghormatan dan empati bagi mereka yang harus menelan pil pahit atas buah keberpihakan tersebut. Sebaliknya, sikap partisan merupakan buah dari persepsi yang selektif dan karenanya mengabaikan yang bukan "kami". Derajatnya pengabaiannya bisa sangat relatif.

Sebagai Presiden, pilihan keberpihakannya seharusnya adalah pada nilai-nilai dasar yang menjadi landasan berdirinya negeri ini. "Indonesia didirikan bukan atas dasar agama, suku atau golongan. Seandainya saja SBY mau menyatakan ini, kita semua akan lebih tenang bernegara," kata seorang pengamat politik, magysul. (Cecil)

Courtesy of Berpolitik.com

0 comments: