JAKARTA (PeePoop) - Perkara Lumpur Lapindo sebenarnya salah siapakah?. PT. Lapindo Brantas kah?, atau akan terjadi sebuah fatalisme dahsyat yang mendakwakan atau menyalahkan Tuhan sebagai satu-satunya tersangka utama dalam kasus yang berlarut-larut melebar entah kemana ini.
Fatalism is a philosophical doctrine emphasizing the subjugation of all events or actions to fate or inevitable predetermination or God.
Dengan permulaan pernyataan bahwa kasus ini adalah murni kesalahan Lapindo Brantas, seperti yang diungkapkan oleh para pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia, mereka adalah mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA - Pertamina Ir Kesam Sumanta, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan Ahli Perminyakan ITB Rudi Rubiandini, yang menilai semburan Lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalailan dalam proses pengeboran.
Tetapi seiring waktu berjalan, persis seperti pasukan Paskribakan yang sangat harmonis dan kompak, Pemerintah dan para pejabat publik di
PT. Lapindo Brantas sendiri yang berkaitan langsung dengan kasus ini dengan terkonsep dan gencar telah melakukan upaya yang (bisa) disebut penyesatan informasi. Lewat iklan-iklan di media massa, dan juga didukung oleh pembelaan lembaga-lembaga negara dari Eksekutif, Yudikatif, sampai Legislatif semakin memperkuat 'dakwaan tunggal' kepada Tuhan sebagai penyebab utama bencana ekologi yang membunuh ini.
Pada saat Pemerintah tidak memihak rakyatnya menyalahkan Tuhan seperti itu merupakan cara yang "cerdas" untuk dilakukan.
Lucunya, saat ini Negara berfungsi tidak lebih daripada 'kasir' Lapindo disaat negara seharusnya memenangkan rakyatnya. Hal yang mendukung negara menjadi 'kasir' adalah Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 yang menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara, secara otomatis Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta. Dengan terpaksanya, berdasar tameng hukum yang nonsense itulah akhirnya Pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp. 700 Miliar dari APBN untuk dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo tersebut.
Lalu sampai kapan rakyat harus menahan penderitaan yang sebenarnya (mungkin) hikmahnya telah dibunuh oleh orang-orang yang berkepentingan?
Rakyat pada akhirnya hanya ditempatkan sebagai objek penderitaan, tidak didengar, apalagi diurusi, dan menyedihkannya banyak dari keluarga yang mengalami dampak langsung Lumpur Lapindo malah sering mendapatkan teror oleh pasukan firaun Lapindo.
Jika manusia tidak punya objek lagi untuk disalahkan, mungkin objek satu-satunya adalah menyalahkan takdir sebagai penyebab bencana ini. Adakah cara yang paling tepat untuk memenangkan rakyat atas kasus ini?. Haruskah rakyat tidak memilih partai-partai yang didiami oleh para penjahat yang terkait kasus Lapindo pada Pemilu 2009?. Ataukah butuh satu-satunya cara terakhir yang mampu rakyat andalkan, yaitu rakyat harus sabar menunggu Musa untuk turun (lagi) ke bumi
"Hanya orang ngga berpendidikan yang membuang limbah ke dalam laut, hanya orang tolol yang membuang comberan ke selokan" (Bim-bim Slank)
0 comments:
Post a Comment