PeePoop Online Media™ | Katakan Yang Benar, Bukan Membenarkan Yang Mengatakan

(Kontribusi) Obama atau Amerika?

Kemenangannya atas Hillarry Rodham Clinton dalam konvensi calon presiden dari Partai Demokrat, seolah-olah sudah menyediakan kursi tertinggi bagi Barack Hussein Obama di Gedung Putih.[...]

(Editorial) Karsa & Kaji, Sekumpulan Hedonis Boros

Quintus Horatius Flaccus, "Carpe Diem, Quam Minimum Credula postero." (Raihlah hari ini, jangan terlalu percaya pada esok)? [...]

(Our Perspective) Media & Pemasaran Politik Dalam Kerangka Neoliberalisme

Menjelang Pemilu 2009, hampir setiap ruang publik penuh dijejali oleh iklan-iklan politik dalam berbagai bentuk. [...]

(Our Perspective) Invasi Israel Sebagai Solusi Krisis Kapitalisme?

Berdasarkan salah satu teori Karl Marx, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. [...]
Foto Peristiwa - Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009
Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imageEnlarged view of image Thumbnail imagegambar besar Thumbnail imagegambar besar

Courtesy of Kaskus

Wednesday, April 16, 2008

Firaun Indonesia

JAKARTA (PeePoop) - Perkara Lumpur Lapindo sebenarnya salah siapakah?. PT. Lapindo Brantas kah?, atau akan terjadi sebuah fatalisme dahsyat yang mendakwakan atau menyalahkan Tuhan sebagai satu-satunya tersangka utama dalam kasus yang berlarut-larut melebar entah kemana ini.


Fatalism is a philosophical doctrine emphasizing the subjugation of all events or actions to fate or inevitable predetermination or God.



Dengan permulaan pernyataan bahwa kasus ini adalah murni kesalahan Lapindo Brantas, seperti yang diungkapkan oleh para pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia, mereka adalah mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA - Pertamina Ir Kesam Sumanta, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan Ahli Perminyakan ITB Rudi Rubiandini, yang menilai semburan Lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalailan dalam proses pengeboran.

Tetapi seiring waktu berjalan, persis seperti pasukan Paskribakan yang sangat harmonis dan kompak, Pemerintah dan para pejabat publik di Indonesia menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah murni bencana alam. Bahkan seperti yang sudah diberitakan oleh Koran Tempo, badan sekelas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang notabene sebagai pusat berdiamnya para ilmuwan ikutan dengan harmonis dan kompak bahwa Lumpur Lapindo adalah bencana alam.


PT. Lapindo Brantas sendiri yang berkaitan langsung dengan kasus ini dengan terkonsep dan gencar telah melakukan upaya yang (bisa) disebut penyesatan informasi. Lewat iklan-iklan di media massa, dan juga didukung oleh pembelaan lembaga-lembaga negara dari Eksekutif, Yudikatif, sampai Legislatif semakin memperkuat 'dakwaan tunggal' kepada Tuhan sebagai penyebab utama bencana ekologi yang membunuh ini.


Pada saat Pemerintah tidak memihak rakyatnya menyalahkan Tuhan seperti itu merupakan cara yang "cerdas" untuk dilakukan.



Lucunya, saat ini Negara berfungsi tidak lebih daripada 'kasir' Lapindo disaat negara seharusnya memenangkan rakyatnya. Hal yang mendukung negara menjadi 'kasir' adalah Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 yang menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara, secara otomatis Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta. Dengan terpaksanya, berdasar tameng hukum yang nonsense itulah akhirnya Pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp. 700 Miliar dari APBN untuk dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo tersebut.


Masalahnya siapa yang bisa menjamin semburan lumpur tersebut tidak akan menjalar ke wilayah lain yang diluar peta Lapindo?, siapa yang tahu.


Semua hal kembali seperti tidak ada titik akhir yang jelas, semuanya tetap berkonsep andaikan. Andaikan pemerintah tidak mengucurkan dana begitu besar untuk semburan lumpur tersebut, mungkin dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan atau kesehatan. Dan lagi-lagi, andaikan tidak pernah terjadi semburan lumpur dan Lapindo berhasil mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo, keuntungan dari usaha itu sudah dapat dipastikan tidak mengalir ke kas negara atau andaikata mengalir pun jumlahnya tidak signifikan. Dilematis tidak berujung.


Lalu sampai kapan rakyat harus menahan penderitaan yang sebenarnya (mungkin) hikmahnya telah dibunuh oleh orang-orang yang berkepentingan?


Jika suara para pakar independen saja diabaikan, dapat dipastikan suara korban Lapindo juga akan mengalami hal yang sama. Hal inilah yang semakin membuka pintu kemenangan Lapindo, sementara kekalahan pemerintah dan rakyat hanya tinggal menunggu waktu saja. Di negara yang 'selalu' mengklaim negara religius atau negara berdasarkan KeTuhanan ini ternyata kekuatan uang mengalahkan segalanya.


Rakyat pada akhirnya hanya ditempatkan sebagai objek penderitaan, tidak didengar, apalagi diurusi, dan menyedihkannya banyak dari keluarga yang mengalami dampak langsung Lumpur Lapindo malah sering mendapatkan teror oleh pasukan firaun Lapindo.


Jika manusia tidak punya objek lagi untuk disalahkan, mungkin objek satu-satunya adalah menyalahkan takdir sebagai penyebab bencana ini. Adakah cara yang paling tepat untuk memenangkan rakyat atas kasus ini?. Haruskah rakyat tidak memilih partai-partai yang didiami oleh para penjahat yang terkait kasus Lapindo pada Pemilu 2009?. Ataukah butuh satu-satunya cara terakhir yang mampu rakyat andalkan, yaitu rakyat harus sabar menunggu Musa untuk turun (lagi) ke bumi Indonesia untuk membunuh dan menghancurkan Kerajaan Firaun Indonesia tersebut?, entahlah, semuanya tergantung takdir. (Shabutie)


"Hanya orang ngga berpendidikan yang membuang limbah ke dalam laut, hanya orang tolol yang membuang comberan ke selokan" (Bim-bim Slank)

0 comments: