PeePoop - Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari istilah 'kiri' dan memang seharusnya istilah tersebut menjadi sangat amat biasa dalam setiap perbincangan. Tapi bukan hanya sebatas isitilah saja, terminologi tersebut menjadi tidak biasa atau luar biasa disaat istilah tersebut diendapkan pada dimensi pemikiran. Istilah 'kiri' menyimpan sejumlah gagasan besar yang menantang, melawan, merusak setiap tradisi yang dianggap 'mapan', dan istilah 'kiri' juga memainkan peran signifikan atas munculnya ide-ide besar yang merubah keadaan.
Pada sudut pandang sejarah, terminologi 'kiri' sering dialamatkan pada pemikiran dan gerakan sosial yang berusaha melakukan dikte atau pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang 'dimapankan' oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Terminologi 'kiri' juga sering menjadi 'hantu' ketika ia dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol-simbol 'revolusi' sebagaimana Sosialisme, Marxisme, dan Komunisme.
Bahkan dalam ruang kesadaran manusia sampai saat ini, 'stigmatisasi' terminologi 'kiri' sudah melembaga. Terlebih ketika terminologi tersebut dikontekskan pada keadaan dimana terdapat luka sejarah.
Misalkan Indonesia, kesadaran masyarakat Indonesia pernah disesaki oleh ide-ide 'membumi hanguskan' segala hal yang baunya kiri.
Masih segar dalam ingatan tanggal 19 April 2001 lalu di negeri ini terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap berbau kiri dan kekiri-kirian. Yang menjadi masalah, aksi tersebut difokuskan pada beberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxisme atau yang dianggap 'mengganggu' kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan. Yang menggelikan adalah, perlawanan atas model pemikiran tersebut harus digerakan secara naif dengan membakar atau membumi-hanguskan hasil pemikirannya (bukunya), bukan dengan melawan melalui pelemparan gagasan-gagasan lain.
Seperti hasil wawancara Kompas dengan Franz Magnis Suseno edisi 5 Mei 2001 yang menyatakan bahwa fenomena membakar buku adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran yang tidak mampu dilawan dengan pikiran. Fenomena tersebut menunjukan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, dan juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminologi 'kiri'.
Apakah selama ini masyarakat Indonesia terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah?, bahwa hasil pemikiran yang 'berbeda' dengan arus utama (mainstream) yang berkembang pada saat yang bersangkutan selalu dianggap sebagai model pemikiran 'kiri'. Dan yang lebih parah, 'kiri' selalu identik dengan Komunisme, 'kiri' selalu identik dengan 'kaum tidak berTuhan'.
Padahal, jelas, wacana pemikiran 'kiri' adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang terkesan 'nakal' yang bertujuan menghancurkan segala hal yang berbau 'kemapanan' kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern. Bisa saja kemapanan (termasuk kemapanan pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Listiyono Santoso dalam bukunya Stigamtisasi dan Vandalisme Dunia Pemikiran Kita menyebutkan pembongkaran atas situasi mapan dari sebauh kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan 'kiri', terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah dan topeng ideologi-ideologi.
Jika ditinjau dari perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan 'kiri' sesungguhnya lebih diletakan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya dan bahkan kebenaran absolut. Yang mengerikan adalah, pada saat bersamaan, kebenaran utama itu akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan.
Karena itulah, perspektif 'kiri' dalam konteks ini sekadar membongkar asumsi dasar epistemologis penyusunan sebuah pengetahuan. Apa jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan sesungguhnya hanya tersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran?.
Keberhasilan pembongkaran tidak saja akan meruntuhkan pilar-pilar yang menyusun sebuah pengetahuan, tetapi ia juga akan menjadi kekuatan efektif untuk mengubah keadaan-keadaan formal yang manipulatif. (Cecilia)
..Selengkapnya..
Pada sudut pandang sejarah, terminologi 'kiri' sering dialamatkan pada pemikiran dan gerakan sosial yang berusaha melakukan dikte atau pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang 'dimapankan' oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Terminologi 'kiri' juga sering menjadi 'hantu' ketika ia dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol-simbol 'revolusi' sebagaimana Sosialisme, Marxisme, dan Komunisme.
Bahkan dalam ruang kesadaran manusia sampai saat ini, 'stigmatisasi' terminologi 'kiri' sudah melembaga. Terlebih ketika terminologi tersebut dikontekskan pada keadaan dimana terdapat luka sejarah.
Misalkan Indonesia, kesadaran masyarakat Indonesia pernah disesaki oleh ide-ide 'membumi hanguskan' segala hal yang baunya kiri.
Masih segar dalam ingatan tanggal 19 April 2001 lalu di negeri ini terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap berbau kiri dan kekiri-kirian. Yang menjadi masalah, aksi tersebut difokuskan pada beberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxisme atau yang dianggap 'mengganggu' kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan. Yang menggelikan adalah, perlawanan atas model pemikiran tersebut harus digerakan secara naif dengan membakar atau membumi-hanguskan hasil pemikirannya (bukunya), bukan dengan melawan melalui pelemparan gagasan-gagasan lain.
Seperti hasil wawancara Kompas dengan Franz Magnis Suseno edisi 5 Mei 2001 yang menyatakan bahwa fenomena membakar buku adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran yang tidak mampu dilawan dengan pikiran. Fenomena tersebut menunjukan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, dan juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminologi 'kiri'.
Apakah selama ini masyarakat Indonesia terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah?, bahwa hasil pemikiran yang 'berbeda' dengan arus utama (mainstream) yang berkembang pada saat yang bersangkutan selalu dianggap sebagai model pemikiran 'kiri'. Dan yang lebih parah, 'kiri' selalu identik dengan Komunisme, 'kiri' selalu identik dengan 'kaum tidak berTuhan'.
Padahal, jelas, wacana pemikiran 'kiri' adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang terkesan 'nakal' yang bertujuan menghancurkan segala hal yang berbau 'kemapanan' kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern. Bisa saja kemapanan (termasuk kemapanan pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Listiyono Santoso dalam bukunya Stigamtisasi dan Vandalisme Dunia Pemikiran Kita menyebutkan pembongkaran atas situasi mapan dari sebauh kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan 'kiri', terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah dan topeng ideologi-ideologi.
Jika ditinjau dari perspektif epistemologi, pemikiran dan gerakan 'kiri' sesungguhnya lebih diletakan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya dan bahkan kebenaran absolut. Yang mengerikan adalah, pada saat bersamaan, kebenaran utama itu akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan.
Karena itulah, perspektif 'kiri' dalam konteks ini sekadar membongkar asumsi dasar epistemologis penyusunan sebuah pengetahuan. Apa jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan sesungguhnya hanya tersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran?.
Keberhasilan pembongkaran tidak saja akan meruntuhkan pilar-pilar yang menyusun sebuah pengetahuan, tetapi ia juga akan menjadi kekuatan efektif untuk mengubah keadaan-keadaan formal yang manipulatif. (Cecilia)